Tafsir QS. al-Baqarah 62

Menguak Keimanan Yahudi, Nasrani, dan Shabiin

Rokhmat S. Labib,M.E.I.
ِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Sabab Nuzul
Dikemukakan Ibnu Abi Hatim dari Salman al-Farisi: ?Saya bertanya kepada Rasulullah saw tentang para pemeluk agama yang pernah saya anut. Dia pun menerangkan sholat dan ibadah mereka. Lalu turunlah ayat ini.?[1]

Diriwayatkan Ibnu Jarir dari Mujahid bahwa Salman al-Farisi bertanya kepada Nabi saw tentang orang-orang Nasrani dan pandapat beliau tentang amal mereka. Beliau menjawab, ?Mereka tidak mati dalam keadaan Islam.? Salman berkata, ?Bumi terasa gelap bagiku dan aku pun mengingat kesungguhan mereka.? Lalu turunlah ayat ini. Setelah itu Rasulullah saw memanggil Salman seraya bersabda, ?Ayat ini turun utuk para sahabatmu.? Beliau kemudian bersabda, ?Barangsiapa yang mati dalam agama Isa sebelum mendengar aku, maka dia mati dalam kebaikan. Barangsiapa telah mendengar aku dan mengimaniku maka dia celaka.[2]

Tafsir Ayat
Allah Swt berfirman: Inna al-ladz?na ?man? wa al-ladz?na h?d? wa al-nash?r? wa al-sh?bi?na (sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabi?in).

Setidaknya ada tiga penafsiran mengenai siapa yang dimaksud dengan al-ladz?na ?man?. Pertama, orang-orang yang beriman kepada Isa as. yang hidup sebelum diutusnya Rasulullah saw. Pada saat yang sama mereka berlepas diri dari kebatilan agama Yahudi dan Nasrani. Di antara mereka ada yang sampai menjumpai Rasulullah saw dan mengikuti beliau, ada pula yang tidak sempat.[3] Demikian menurut Ibnu Abbas dalam suatu riwayat.[4] Kedua, orang-orang munafik yang mengaku beriman. Penafsiran itu dikemukakan Sufyan al-Tsauri, al-Zamakhsyari, dan al-Nasafi.[5] Ketiga, orang-orang yang beriman kepada Nabi Muhammad saw secara benar. Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Qurthubi, al-Thabari, al-Syawkani, dan al-Jazairi.[6]

Dua pendapat terakhir itu dibenarkan oleh al-Baidhawi. Menurutnya, kata al-ladz?na ?man? mencakup semua orang yang memeluk agama Muhammad (Islam), baik yang mukhlis maupun yang munafik.[7] Tampaknya, pendapat ini lebih dapat diterima. Alasannya, jika Yahudi adalah pemeluk agama Musa as, Nasrani merupakan pengikut agama Isa as, maka Mukmin adalah sebutan untuk ummat Nabi Muhammad saw.[8] Disebut Mukmin, kata Ibnu Katsir, karena banyaknya keimanan mereka. Mereka mengimani seluruh nabi yang terdahulu dan perkara ghaib yang akan datang.[9]

Sementara kata al-ladz?na h?d? merujuk kepada pemeluk agama Yahudi.[10] Menurut al-Zujaj, secara bahasa kata h?d? bermakna t?b? (bertaubat).[11] Mereka dinamai demikian karena mereka pernah bertaubat setelah melakukan penyembahan terhadap al-ijl (patung sapi betina). Al-Quran menyitir pernyataan mereka, ?Inna hudn? ilayk? (sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau) (QS al-A?raf: 156). Demikian penjelasan Ibnu Mas?ud.[12]

Kata al-Nash?r? bentuk jamak dari kata Nashrani.[13] Mereka adalah para pengikut Nabi Isa as. Disebut Nasrani karena di antara mereka yang menjadi pengikut setianya?al-hawariyyin?pernah menyanggupi permintaan Isa as untuk menjadi ansh?raLlah. Allah Swt mengabadikan jawaban mereka: Nahnu ansh?ruLlah (kami adalah penolong-penolong agama Allah) (QS Ali Imron: 52, al-Shaff: 14). Ada pula yang mengaitkan sebutan Nashrani dengan nama daerah kelahiran Isa yang dikenal dengan N?shirah (Nazareth).[14]

Para mufassir berbeda pendapat mengenai siapa yang dimaksud dengan al-Sh?biin. Menurut Wahab bin Munabbih, mereka adalah kaum yang mengetahui keesaan Allah, tidak memiliki syariah yang diamalkan, dan tidak membicarakan kekufuran. Ibnu Zaid menuturkan, mereka adalah pemeluk suatu agama di daerah Mosul. Mereka mengucapkan kalimat l? il?ha illaLl?h. Mereka tidak memiliki amal, kitab, dan nabi kecuali kalimat tauhid itu. Oleh karena itu, kaum Musyrik pernah menyebut Nabi saw dan para sahabatnya sebagai sebagai sh?bi?n karena menyerupai mereka dalam kalimat l? il?ha illaLlah.[15]

Mujahid, Ibnu Abi Najih, Atha?, dan Sa?id bin Jubair menyatakan bahwa mereka adalah kaum antara Majusi, Yahudi, dan Nasrani. Sementara Abu Aliyah, Rabi? bin Anas, al-Sudi, dan al-Dhuhak berpendapat bahwa mereka salah satu firqah dari Ahli Kitab yang membaca Zabur.[16] Pendapat ini juga didukung Abdurrahman al-Sa?di.[17] Walhasil memang tidak ada kesamaan tentang siapa mereka. Namun dari berbagai pendapat tersebut, setidaknya didapatkan gambaran bahwa mereka adalah suatu kaum yang memeluk agama tertentu.

Selanjutnya Allah Swt berfiman: man ?mana biLl?hi wa al-yawm al-?khir wa ?amila shalih[an] (siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhir, serta beramal shaleh).

Kata man dalam kembali kepada semua kelompok yang disebutkan. Man ?mana memberikan pengertian, siapa saja di antara mereka yang menjaga imannya (hingga mati), jika mereka sudah beriman atau masuk ke dalam iman, jika mereka masih belum beriman. [18]

Perkara yang harus diimani adalah iman kepada Allah Swt dan hari kiamat. Kendati yang disebutkan hanya iman kepada Allah dan hari Akhir, bukan berarti hanya mengimani dua perkara itu sudah dapat mengeluarkan seseorang dari kekufuran dan menjadi mukmin karenanya. Sebab, sebagaimana dinyatakan al-Alusi, iman kepada Allah Swt itu meliputi iman terhadap sifat dan af??l-Nya.[19] Keimanan terhadap sifat dan af?al-Nya itu bisa benar jika didasarkan kepada pemberitahuan-Nya. Itu berarti, keimanan kepada Allah Swt meniscayakan iman kepada rasu-rasul dan kitab-kitab-Nya.

Demikian juga dengan iman kepada hari kiamat. Keimanan ini juga mencakup iman kepada rasul dan kitab. Sebab, hari berbangkit tersebut tidak akan dapat diketahui kecuali melalui informasi Rasul Allah.[20] Oleh karenanya, meski yang disebutkan hanya dua perkara, namun yang keimanan yang dimaksudkan tidak terbatas hanya dua perkara itu. Keimanan tersebut harus komprehensif sebagaimana dinyatakan dalam nash-nash lain, yakni beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, dan al-Qadla wa al-Qadar.

Sedangkan sebuah amal dapat dikatagorikan sebagai amal saleh apabila sejalan dengan ketentuan syara? dan dikerjakan semata-semata untuk Allah Swt. Sehingga amal keempat kelompok itu dapat dikatagorikan sebagai amal shalih jika amalnya sejalan dengan syariah yang dibawa rasul di zamannya masing-masing sebelum ada nasakh dan perubahan.[21]

Allah berfirman: falahum ajruhum ?inda Rabbihim (mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka). Ini merupakan janji Allah Swt terhadap setiap orang yang memenuhi syarat atau sifat yang disebutkan sebelumnya. Bahwa Allah Swt akan memberikan kepada mereka pahala yang besar.

Balasan lain yang dijanjikan Allah Swt kepada mereka adalah: wa l? khawf[un] ?alayhim wa l? hum yahzan?n (tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati). Keadaan ini mereka alami terutama di akhirat kelak.[22] Di saat itu, ketika banyak manusia mendapatkan aneka siksa dahsyat di neraka yang menyala-nyala, mereka tidak perlu takut. Sebab mereka akan diselamatkan dari siksaan menakutkan tersebut. Sebaliknya, mereka akan mendapatkan berbagai kenikmatan di surga yang membuat mereka mengenyam kebahagiaan.

Bukan Dalil Pluralisme Agama
Pengkajian tentang ayat ini secara mendalam menunjukkan bahwa ayat ini sama sekali tidak melegitimasi kebenaran agama-agama selain Islam atau menjadi dalil bagi keselamatan pemeluk Yahudi, Nasrani, Shabiin sebagaimana sering digemborkan kaum Liberal.

Dari segi sabab nuzulnya, ayat ini merupakan jawaban terhadap pertanyaan Salman al-Farisi tentang nasib teman-temannya dahulu. Sehingga, jelas bahwa kaum Yahudi, Nasrani, dan Shabiin yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah kaum yang hidup sebelum diutusnya Rasul saw. Bahwa umat-umat terdahulu yang mengikuti agama nabinya dengan konsisten maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Allah swt.

Dari segi lafadz-lafadznya juga jelas. Bahwa janji pahala dan keselamatan itu hanya diberikan jika mereka beriman dengan keimanan yang benar dan komprehensif. Sebab, pengingkaran terhadap sebagian perkara yang wajib diimani dapat menyebabkan pelakunya menjadi kafir (QS al-Nisa?: 136, 150-150).

Berpijak pada kenyataan tersebut, sebagaimana dinyatakan al-Syaukani, al-Qasimi, dan al-Qinuji, yang dapat memenuhi kriteria keimanan tersebut aat ini hanyalah orang-orang yang memeluk Islam.[23] Sebaliknya, semua penganut agama selain Islam saat ini dapat dikatagorikan sebagai orang kafir. Sebab, secara pasti mereka mengingkari Nabi Muhammad saw sebagai Rasul-Nya dan al-Quran sebagai kitab-Nya. Sebagai konsekuensinya, mereka akan mengingkari perkara-perkara aqidah yang diberitakan al-Quran dan al-Sunnah.

Maka siapa saja?termasuk pemeluk Yahudi dan Nasrani?yang menginginkan dikelompokkan sebagai kaum beriman, tidak ada pilihan lain kecuali mengimani perkara-perkara aqidah yang telah ditetapkan Islam tersebut. Allah Swt berfirman:

فَإِنْ آمَنُوْا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِيْ شِقَاقٍ
?Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapatkan petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka dalam permusuhan (denganmu).? (QS al-Baqarah: 137).

Lebih dari itu, aqidah dan syariah mereka juga banyak diliputi dengan mitos dan kesesatan. Aqidah Trinitas yang menjadi pokok pangkal agama Nasrani menjadi salah satu bukti nyatanya. Secara tegas al-Quran menyebut orang yang mengakui ketuhanan Isa atau aqidah Trinitas tergolong sebagai orang kafir (QS al-Maidah: 72, 73).

Demikian juga dalam amal shalih. Sejak diutusnya Rasulullah saw, syariah beliau telah me-naskh (menghapus berlakunya) syariah yang dibawa rasul sebelumnya. Sehingga yang boleh diamalkan hanyalah syariah Islam. Di antara sabda Rasulullah saw ketika beliau menjumpai Umar bin al-Khaththab membawa lembaran taurat:

لَوْ أَنَّ مُوْسَى صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِيْ
?Andaikata saudaraku Musa hidup (saat ini), tentu beliau tidak keberatan kecuali mengikutiku.? (HR Ahmad dan al-Bazzar).

Ibnu Abbas menegaskan bahwa tidak akan diterima, baik thariqah atau amal perbuatan, kecuali sesuai dengan syariat Nabi Muhammad saw setelah beliau diutus. Adapun sebelum itu, setiap orang yang mengikuti rasul pada zamannya, maka ia berada di atas petunjuk, jalan, dan keselamatan.[24] Al-Wahidi juga menyimpulkan, kata wa ?amila sh?lih[an] merupakan dalil tentang keimanan kepada Nabi Muhammad saw. Sebab, orang yang tidak beriman kepada beliau, amalnya tidak ada yang shalih.[25]

Hal lain yang juga sering diabaikan oleh kaum Liberal dalam memahami ayat ini?juga ayat-ayat lainnya?adalah petunjuk ayat-ayat muhkam. Padahal, di antara kaidah penting dalam menafsirkan al-Quran adalah keharusan menjadikan ayat-ayat yang muhkam sebagai patokan dalam memahami ayat-ayat yang mutasyabih. Dengan kata lain, semua nash, baik ayat al-Quran maupun Hadits Nabi saw, yang mengandung kesamaran dan banyak takwil harus dikonfirmasikan dan dirujukkan kepada nash-nash yang jelas dan pasti.

Ayat-ayat muhkamat jelas menolak kesimpulan kaum Liberal tersebut. Nabi Muhammad saw diutus sebagai nabi dan rasul untuk seluruh manusia tanpa terkecuali (QS Saba?: 28, al-A?raf: 158). Sehingga semua manusia harus mengimani dan mengikutinya, termasuk di dalamnya Ahli Kitab. Secara khusus, Rasulullah saw diperintahkan untuk menawarkan Islam kepada para ahli kitab. (QS: Ali Imron: 19; al-Nisa: 47; al-Maidah: 15-16).

Sejarah juga mencatat, Nabi saw sering mengajak ahli Kitab untuk masuk Islam. Tindakan Rasulullah saw ini menjadi bukti nyata bahwa, pemeluk agama Nasrani dan lainnya termasuk bagian dari objek yang harus diajak masuk Islam dan meninggalkan agama lama yang sebelumnya diyakininya. Sebab, jika mereka telah dianggap cukup dengan memeluk agama mereka, untuk apa Rasulullah saw bersusah-payah mengajak mereka masuk Islam?

Ditegaskan pula, agama yang diridhai Allah Swt setelah diutusnya Rasulullah saw adalah Islam (QS al-Maidah: 3, Ali Imron: 20). Sehingga semua agama selain Islam tidak akan diterima oleh-Nya (QS Ali Imron: 85).

Rasulullah saw juga menegaskan:

وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ نَصْرَنِيٌ وَلَا يَهُوْدِيٌ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
?Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang aku seorang dari umat ini, baik dia Yahudi atau Nasrani, lalu ia mati dan tidak mengimani risalah yang aku bawa (Islam), kecuali termasuk penghuni neraka.? (HR Muslim).

Tiga argumentasi di atas sudah cukup membatalkan klaim kaum liberal yang menyelewengkan ayat ini untuk dijadikan dalil bagi pluralisme agama. Jika demikian halnya, atas dasar kebohongan apalagi mereka menyeret ayat ini untuk menjustifikasi kekufuran? WaLl?h a?lam bi al-shaw?b. (sidogiri.com)

--------------------------------------------------------------------------------
FOOTNOTE :
  1. al-Suyuti, al-Durr al-Mants?r f? Tafs?r al-Ma?ts?r vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), 143;

  2. al-Suyuti, al-Durr al-Mants?r, vol. 1, 143

  3. Al-Baghawi, Ma??lim al-Tanz?l, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-?Ilmiyyah, 1993), 46

  4. Nidzam al-Din al-Naysaburi, Tafs?r Ghar?ib al-Qur??n, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-?Ilmiyyah, 1996), 302

  5. al-Zamakhsyari, al-Kasy?f, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 148; al-Nasafi, Mad?rik al-Tanz?l, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-?Ilmiyyah, 2001), 57;

  6. al-Qurthubi, al-J?mi? li Ahk?m al-Qur??n, vol. 1(Beirut: Dar al-Kutub al-?Ilmiyyah, tt), 432; al-Thabari, J?mi? al-Bay?n f? Ta?w?l al-Qur??n, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 358; al-Syawkani, Fath al-Qad?r, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-?Ilmiyyah, 1993), 117; al-Jazairi, Ays?r al-Taf?s?r, vol. 1(tt: Nahr al-Khair, 1993), 64. Ketiga pendapat itu juga dirangkum oleh al-Razi, al-Tafs?r al-Kab?r, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 97

  7. al-Baydhawi, Anw?r al-Tanz ?l wa Asr?r al-Ta?w?l, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), 66;

  8. al-Baghawi, Ma??lim al-Tanz?l, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 46; al-Khazin, Lub?b al-Taw?l f? Ma??n? al-Tanz?l, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 50

  9. Ibnu Katsir, Tafs?r al-Qur??n al?Azh?m, vol. 1 (Riyadh: Dar ?Alam al-Kutub, 1997), 132.

  10. al-Thibrisi, Majma? al-Bay?n f Tafsr al-Qur??n, vol. 1 (tt: Dar al-Ma?rifah, tt), 258

  11. al-Jawzi al-Qurasy, Z?d al-Mas?r f??Ilm al-Taf ?r, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), 78

  12. al-Syawkani, Fath al-Qad?r, vol. 1, 119

  13. al-Nasafi, Mad?rik al-Tanz?l, vol. 1, 57
sumber : swaramuslim.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar