Maraknya pembunuhan bayi perempuan di desa-desa India

Didalam sebuah ruang kelas yang berisikan 22 orang murid laki-laki, Padma Kanwar Bhatti adalah satu “titik merah” ditengah kerumunan hijau, karena ia adalah salah satu anak perempuan yang beruntung tetap selamat di tengah masyarakat India yang sangat mendambakan kelahiran anak laki-laki.

Bhatti yang berusia 15 tahun hidup bersama orang tua dan kedua kaka laki-lakinya di Desa Devda yang hanya berpenduduk 2.500 jiwa, Provinsi Rajasthan-India. Daerah ini juga merupakan salah satu daerah yang mengalami kesenjangan terparah dalamhal jumlah penduduk laki-laki dan perempuan di India. Dengan terbata-bata Bhatti berkata, “Dikelas hanya saya seorang diri murid perempuan, di desa sangat sedikit anak perempuan.” Saat ditanya mengapa di Desa Devda yang terletak di Gurun Thar yang sangat gersang itu banyak laki-laki dibandingkan perempuan, Bhatti menundukkan kepala menatap buku Ilmu Pengetahuan Sosialnya. Dengan bahasa Rajasthan ia menjawab, “Semua anak perempuan telah mati.”

Bhatti (kiri) satu-satunya perempuan diantara 22 anak laki-laki di dalam kelas. (Roberto Schmidt/AFP)
Warga Desa Devda dan desa sekitarnya mengakui, fenomena membunuh bayi perempuan memang masih eksis hingga sekarang. Meskipun dibanyak tempat di India sedang terjadi pertumbuhan ekonomi serta reformasi social yang begitu cepat, namun tradisi pembunuhan terhadap bayi perempuan yang telah ada sejak zaman dahulu kala masih tetap marak hingga saat kini.



Penduduk Desa Devda, Rajan Singh yang memiliki 2 putra berkata, “Kami sangat mendambakan anak laki-laki, melahirkan anak perempuan membuat kami sngat sedih.” Singh masih menyimpan kebanggan sebagai keturunan dari suku pejuang Bhatti Rajput. Singh mengatakan, kebanyakan bayi perempuan yag lahir akan dibunuh dalam tempo kurang dari 24 jam oleh ibunya sendiri atau oleh bidan.

Singh mengungkapkan, “Saya pernah mendengar ada yang menyuntikkan opium pada bayi perempuannya, atau membekap wajah mereka dengan karung yang diisi penuh dengan pasir atau biji mustard. Banyak juga ibu-ibu yang tidak memberi makan bayi perempuan mereka sehingga mati kelaparan."

Sejarawan setempat berpendapat, kebiasaan membunuh bayi perempuan diwilayah ini, mungkin berawal dari peperangan yang meletus beberapa generasi sebelumnya.

Waktu itu kepala suku Rajput memilih untuk membunuh anak perempuannya sendiri agar mereka tidak mengalami nasib diperkosa oleh para penjajah dari negeri Arab. Saat itu kaum agresor itu menjarah desa, dan memperkosa kaum perempuan, lalu membuang mereka ke dalam sumur.

Sosiolog Umashankar Tyagi dari Jaipur, ibukota Rajasthan, berkata kepada AFP, “Karena tidak mampu menahan pelecehan seperti ini, maka klan Rajput memilih untuk membunuh anak perempuannya sendiri.”

Tyagi menyatakan, meskipun kini sudah era damai, namun kebiasaan membunuh bayi perempuan belum juga dihapuskan, “Mas kawin, ketidak tahuan, serta kemiskinan pun menjadi alasan membunuh bayi perempuan di masa sekarang ini.”

Kepala suku dan pejabat provinsi menerangkan bahwa selama 100 tahun terakhir, di Desa Devda hanya ada 2 orang perempuan yang melangsungkan perkawinan. Keadaan seperti ini merefleksikan krisis nasional yang dihadapi oleh India.

Kecintaan Negara ini terhadap anak laki-laki, sebagian juga akibat peran penting yang diemban oleh seorang anak laki-laki dalam keluarga pada prosesi pemakaman di India.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar